Perdebatan Antara Jokowi dan Faisal Basri Mengenai Hilirisasi Nikel

Berita, Bisnis487 Dilihat

Kuncishock News – Perdebatan antara ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, dengan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, telah menimbulkan polemik yang membahas isu hilirisasi atau pemurnian serta pemrosesan mineral tambang, terutama nikel, di Indonesia.

Faisal Basri memulai kritiknya terhadap kebijakan hilirisasi nikel dengan menyatakan bahwa kebijakan tersebut hanya memberikan keuntungan bagi industrialisasi China.

Menurut Faisal, hilirisasi nikel ini menghasilkan produk Nikel Pig Iron (NPI) dan fero nikel yang sebanyak 99% diekspor ke China.

Faisal expressed in an Indef discussion on Friday (11/8/2023) that, “If nickel is merely processed into Nickel Pig Iron (NPI) or ferro nickel, and if 99% of NPI and ferro nickel are exported to China, then it’s remarkable that Indonesia’s nickel processing is clearly supporting China’s industrialization.”

Presiden Jokowi, di sisi lain, membantah pernyataan Faisal Basri dan menyampaikan bahwa hilirisasi nikel memiliki manfaat positif bagi Indonesia.

Jokowi bahkan mempertanyakan perhitungan Faisal Basri yang menyebut bahwa hilirisasi hanya menguntungkan negara lain.

“Bagaimana cara menghitungnya? Biarkan saya berikan contoh tentang nikel. Ketika kami mengekspornya dalam bentuk mentah, nilai ekspor bahan mentah tersebut sekitar Rp 17 triliun per tahun. Namun, setelah masuk ke tahap industrialisasi hilirisasi dan mengalami penambahan nilai, melalui proses pengolahan nikel, nilainya meningkat menjadi Rp 510 triliun,” jelas Presiden Jokowi sebagai tanggapan atas pernyataan Faisal Basri mengenai hilirisasi nikel.

Presiden Jokowi menjelaskan bahwa dengan meningkatnya nilai ekspor hasil hilirisasi nikel, pendapatan pajak yang diterima oleh negara juga akan lebih besar dibandingkan sebelumnya.

Namun, Faisal Basri memberikan tanggapan terhadap pernyataan Presiden Jokowi.

Menurutnya, angka yang disebutkan oleh Presiden Jokowi tidak sesuai dengan data yang ada.

Faisal menyampaikan data dari tahun 2014 yang menunjukkan bahwa nilai ekspor bijih nikel hanya sebesar Rp 1 triliun.

“Jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp 1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai US$ 85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp 11,865 per US$,” terang Faisal dalam keterangannya.

Faisal Basri juga menyebutkan bahwa pada tahun 2022, nilai ekspor besi dan baja yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi sebesar US$ 27,8 miliar, setara dengan Rp 413,9 triliun berdasarkan nilai tukar rupiah saat itu.

Namun, dia mempertanyakan angka yang disebutkan Presiden Jokowi sebesar Rp 510 triliun.

Dalam tanggapannya, Faisal menyatakan bahwa kebijakan hilirisasi nikel hanya memberikan dampak keuntungan yang besar bagi perusahaan-perusahaan smelter China.

Nilai tambah yang dihasilkan dari hilirisasi sebagian besar dinikmati oleh China, dan nilai tambah yang mengalir ke ekonomi nasional hanya sekitar 10%.

Faisal juga menyoroti fakta bahwa perusahaan-perusahaan smelter China menikmati fasilitas dan keuntungan yang besar, termasuk status proyek strategis nasional yang memberikan kemudahan kepada mereka.

Sementara itu, Indonesia belum sepenuhnya merasakan manfaat dari hilirisasi nikel tersebut.

Meskipun terdapat perbedaan data dan pandangan antara kedua belah pihak, perdebatan ini menyoroti kompleksitas isu hilirisasi nikel dan dampak ekonomi yang melibatkan faktor-faktor internal dan eksternal.

Isu ini merupakan perdebatan penting dalam rangka mengoptimalkan manfaat dari sumber daya mineral yang dimiliki oleh Indonesia.

 

 

 

Sumber : cnbcindonesia.com